Selasa, 15 Januari 2013

Konyolnya Modus Korupsi

KETOPRAK TEATER
Lebak 1848 : Konyolnya Modus Korupsi
        Sejarah lokal, peristiwa di Kabupaten Lebak, Jawa Barat, yang saat ini masuk wilayah Provinsi Banten, tahun 1848 saat masih dalam masa penjajahan Belanda, ternyata memperlihatkan betapa korupsi di kalangan priayi pribumi begitu merebak. Tingkah Laku korup itu cenderung konyol, terang - terangan, dan menyiratkan betapa antara korupsi dan kenekatan melahirkan perilaku kebodohan, yang akhirnya melunturkan kadar intelektual manusia yang sesungguhnya terdidik, Itulah persoalan yang muncul dalam pentas Ketoprak Teater dengan lakon " Lebak 1848 " di Taman Budaya Yogyakarta, pekan lalu. Sebuah karya yang mengisahkan sejarah lokal Lebak 1848 yang ditulis sutradara Bondan Nusantara, adaptasi dari buku Max Havelaar karya Multatuli.
       Dalam lakon itu korupsi dibidik seperti perbuatan kanak - kanak yang disruh ibunya membeli garam dengan uang lebih, tetapi memberikan pengembalian dalam jumlah tidak semestinya. Korupsi dilakukan secara bodoh, tanpa strategi, sederhana, dan jauh dari nalar. Padahal, pelaku korupsi itu adalah orang terdidik. Sebagai karya adaptasi, naskah Bondan ini tentu menjadi karya fiktif. Namun, perilaku korup dari kalangan priayi pribumi di masa itu bukan fiktif. Perilaku korup itu tergambar sampai sekarang. Dalam pentas ini Bondan membangun kolaborasi antara grup ketoprak dan wayang Milenium Wae dan kelompok Acapella Mataraman pimpinan Pardiman Djoyonegoro, yang membuat iringan musik Jawa Kontemporer.

Akulturasi Seni
       Namanya ketoprak teater, lakon ini oleh Bondan dihadirkan dalam akulturasi seni antara tradisi dan modern. Dasar pijaknya tetap ketoprak, seni tradisi Jawa, dengan dialog bahasa Jawa diiringi musik Gamelan. Namun, dalam pemanggungan banyak memakai dramaturgi teater modern, mulai dari pengadegan dan setting. Ini menunjukan jagat ketoprak, khususnya dalam menggarap lakon, tak hanya menggarap sejarah dan legenda seputaran abad X hingga XV, tetapi juga mencoba memotret lakon masa kolonial. Lakon " Lebak 1848 " diawali dari surat yang dikirimkan oleh Asisten Residen Belanda kepada Bupati Lebak yang diperankan Widayat. Isinya, teguran agar Bupati Lebak bisa mengatur perilaku istri dan anaknya yang aji mumpung, memeras uang rakyat untuk foya - foya. Puncak dari perilaku istri bupati yang diperankan oleh Nia, yaitu saat meminta Bupati menyambut kedatangan kakak iparnya, yang juga menjadi bupati, ke Lebak disambut pesta besar. Bupati Lebak sadar, untuk pesta besar memerlukan dana, dan tak bisa dibiayai oleh negara. Istri Bupati mendesak agar pesta besar tetap digelar. Rakyat harus mempersembahkan hartanya untuk membiayai pesta itu. Bupati pun tak tegas, dan pasrah saja.
       Rakyat pun diperas. Atas perintah istri Bupati, demang dipimpin oleh menantu Bupati, yang diperankan oleh Bagus, merampas harta rakyat secara besar - besaran. Karya, yang diperankan M. Sugiarto, tokoh masyarakat saat itu, bangkit membangun kekuatan rakyat, melawan kekejaman pejabat kabupaten. Namun, perlawanan Karya bersama rakyat itu sia - sia sebab mereka ditumpas oleh kekuatan pasukan kabupaten. Mayat rakyat berserakan di mana - mana. Dalam lakon itu juga digambarkan percintaan saija, anak Karya yang diperankan oleh Vian, dan Adinda, yang diperankan oleh penyanyi Tere. Saija harus ke kota untuk mencari bekal hidup karena sapinya dirampas oleh petinggi kabupaten.
       Namun, sepulang dari kota, Saija menemui Karya, bapaknya, dan Adinda terkapar, menjadi korban kebengisan petinggi kabupaten yang rakus. Sendirian, Saija melabrak ke kabupaten. Ia roboh ditembak saat baru memasuki gerbang kabupaten. Penutup lakon ini, adalah kemunculan tokoh Asisten Residen Max Havelaar dan Multatuli. Max membuka jasnya, simbol melepas jabatan, karena gagal memberantas korupsi. sementara itu Multatuli merobek buku, yang menyimbulkan kegagalan pendidikan mengubah perilaku manusia yang korup.

( THOMAS PUDJO WIDJANTO )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar